Peneliti CSIS mengingatkan government shutdown AS bisa memicu capital outflow, menekan rupiah, IHSG, dan ekspor Indonesia jika berlangsung lama. Target pertumbuhan ekonomi 5,2% pun semakin sulit tercapai.
MonetaPost – Kebijakan fiskal Amerika Serikat kembali menghadapi kebuntuan serius setelah pemerintah yang dipimpin Presiden Donald Trump menghentikan sebagian besar operasionalnya sejak awal Oktober 2025. Fenomena yang dikenal sebagai government shutdown ini tak hanya menimbulkan ketidakpastian di dalam negeri AS, tetapi juga menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Menurut Deni Friawan, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, dampak shutdown terhadap perekonomian RI bergantung pada durasi yang terjadi. Bila berlangsung singkat, kurang dari dua pekan, efeknya terhadap Indonesia relatif terbatas. Namun, jika berlarut hingga sebulan atau lebih, risikonya akan jauh lebih besar, terutama bagi stabilitas pasar keuangan dan perdagangan internasional.
Efek Domino ke Ekonomi Global
AS merupakan salah satu motor utama ekonomi dunia. Penutupan pemerintahan yang berkepanjangan membuat pasar global kehilangan rujukan data makroekonomi penting, seperti laporan tenaga kerja Nonfarm Payrolls (NFP) dan indikator konsumsi rumah tangga. Ketidakpastian ini memicu investor global untuk menghindari risiko dengan mengalihkan dana mereka ke aset yang dianggap lebih aman.
“Kalau shutdown lebih dari tiga atau empat minggu, masalah domestik AS bisa jadi masalah dunia. Posisi AS di ekonomi global sangat besar, sehingga efeknya akan terasa sampai ke Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Deni.
Risiko Capital Outflow dan Tekanan ke Rupiah
Salah satu risiko paling nyata adalah terjadinya capital outflow dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor global cenderung mencari safe haven seperti dolar AS, obligasi pemerintah AS, atau emas. Situasi ini dapat memicu arus keluar modal dari pasar saham maupun obligasi di Indonesia.
“Hal pertama yang akan kita lihat adalah tekanan terhadap rupiah dan IHSG,” jelas Deni. Rupiah yang tertekan membuat biaya impor meningkat, sementara ketidakpastian di bursa saham berpotensi mengurangi likuiditas dan melemahkan kepercayaan investor domestik.
Dampak ke Ekspor Indonesia
Selain sektor keuangan, shutdown yang berkepanjangan juga dapat menekan konsumsi masyarakat AS. Jika daya beli konsumen Amerika melemah, permintaan terhadap produk impor otomatis menurun. Hal ini menjadi ancaman serius bagi ekspor Indonesia yang banyak bergantung pada pasar AS.
Produk ekspor utama RI ke AS adalah tekstil, garmen, alas kaki, dan elektronik. Jika permintaan melambat, maka kinerja ekspor yang sudah melemah akan semakin tertekan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia ke AS pada Agustus 2025 hanya mencapai US$2,72 miliar, turun 12,39% dibandingkan bulan sebelumnya, meskipun masih tumbuh tipis 2,96% dibandingkan tahun lalu.
“Ekspor kita sebelumnya sudah ditekan kebijakan reciprocal tariffs hingga 19%. Dengan adanya shutdown, tekanan ini akan semakin berat,” tambah Deni.
Ancaman terhadap Target Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah Indonesia sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% (yoy) pada 2025. Namun, menurut analisis CSIS, target tersebut sudah cukup sulit tercapai bahkan sebelum adanya shutdown. Dengan tambahan ketidakpastian global akibat mandeknya pemerintahan AS, target itu menjadi semakin jauh dari jangkauan.
“Shutdown ini bisa jadi faktor yang membuat ekonomi Indonesia melambat lebih jauh dari yang diperkirakan,” ujar Deni.
Flight-to-Safety dan Dampaknya ke Pasar
Fenomena flight-to-safety yang dipicu oleh investor asing akan memperkuat dolar AS sekaligus menekan mata uang negara berkembang. Aliran modal keluar tidak hanya berdampak pada volatilitas pasar saham, tetapi juga pada obligasi pemerintah Indonesia. Kondisi ini berpotensi meningkatkan biaya utang karena yield obligasi akan naik seiring berkurangnya permintaan.
Di sisi lain, harga komoditas juga bisa terdampak. Jika shutdown menekan pertumbuhan ekonomi global, permintaan terhadap komoditas ekspor utama Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) berpotensi melambat.
Ketidakpastian Semakin Meningkat
Shutdown AS kali ini menunjukkan rapuhnya konsensus politik antara pemerintah dan Kongres dalam hal penganggaran federal. Ketidakpastian politik ini menambah kerentanan perekonomian global yang sebelumnya sudah menghadapi risiko perlambatan akibat inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, dan gejolak geopolitik.
Bagi Indonesia, situasi ini menuntut pemerintah dan otoritas moneter untuk lebih waspada. Bank Indonesia kemungkinan besar akan melakukan intervensi guna menstabilkan rupiah, sementara pemerintah perlu memperkuat basis ekspor ke negara-negara nontradisional agar tidak terlalu bergantung pada pasar AS.
Penutupan pemerintah AS bukan hanya isu domestik, tetapi persoalan global yang mampu mengguncang perekonomian negara berkembang seperti Indonesia. Risiko capital outflow, tekanan terhadap rupiah, penurunan IHSG, hingga melemahnya ekspor menjadi tantangan nyata yang harus diantisipasi.
Selama shutdown masih berlangsung, pasar akan cenderung bergerak hati-hati dan investor memilih aset yang lebih aman. Indonesia perlu mempersiapkan langkah mitigasi yang kuat, baik melalui stabilisasi pasar keuangan maupun diversifikasi ekspor, agar dampak dari krisis politik di AS tidak terlalu dalam terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional.







One Comment