AHY kenang Cikeas gelap selama dua tahun setelah kepergian Ani Yudhoyono. Ia menceritakan masa duka keluarga dan perjuangan SBY bangkit lewat seni, puisi, dan lagu. Kisah penuh cinta dan ketabahan keluarga Yudhoyono ini menginspirasi banyak orang.
MonetaPost – Dalam momen peluncuran buku The Mentor: 9 Purnama di Sisi SBY karya motivator terkenal Merry Riana, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) membuka kisah penuh haru tentang masa duka keluarganya setelah kepergian Ani Yudhoyono.
AHY mengenang bagaimana kediaman keluarga di Cikeas, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat aktivitas politik dan kebersamaan keluarga, tiba-tiba terasa sepi dan kehilangan auranya.
“Kami menjadi saksi dua tahun gelap. Cikeas gelap, seperti hilang auranya,” ujar AHY dalam pidatonya di Jakarta, Senin (3/11).
“Dulu Cikeas menjadi pusat kekuatan politik. Dua tahun itu rasanya gelap. Kami semua terpukul, apalagi melihat Pak SBY begitu sedih.”
Kata-kata itu menggambarkan betapa mendalamnya kehilangan yang dirasakan oleh keluarga besar Yudhoyono setelah berpulangnya sang istri, ibu, sekaligus figur inspiratif keluarga tersebut.
Menurut AHY, dua tahun pertama setelah kepergian Ani merupakan masa yang sangat berat. Banyak hal berubah di lingkungan rumah mereka. Suasana hangat yang biasanya terasa setiap hari menjadi redup. Tidak ada lagi tawa hangat atau obrolan ringan di ruang keluarga yang dulu menjadi pusat kebersamaan.
AHY Ceritakan Masa Kelam di Keluarga Yudhoyono
AHY menuturkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) — ayah sekaligus Presiden ke-6 Republik Indonesia — mengalami masa-masa paling berat dalam hidupnya saat kehilangan Ani.
“Bagi beliau, Ibu Ani bukan hanya pendamping hidup, tapi juga sahabat sejati. Dua tahun pertama benar-benar kelam bagi kami semua,” kata AHY.
Meski demikian, AHY melihat bahwa duka itu tidak membuat SBY terpuruk selamanya. Justru dari kesedihan mendalam itu, muncul semangat baru untuk bangkit. Proses pemulihan batin yang panjang membawa SBY menemukan cara tersendiri untuk menyembuhkan diri.
“Kebahagiaan itu harus diperjuangkan, bukan diberikan. Pak SBY pandai menata hati,” tutur AHY.
“Beliau bukan hanya bangkit, tapi melakukan transformasi yang tidak banyak bisa dilakukan oleh orang lain.”
Ucapan tersebut menggambarkan kekaguman AHY terhadap ayahnya yang berhasil mengubah duka menjadi inspirasi. Ia menyebut bahwa perjalanan SBY setelah kepergian Ani bukan sekadar proses penyembuhan, melainkan transformasi hidup yang luar biasa.
SBY Bangkit Melalui Seni dan Karya
Dalam masa duka yang panjang itu, SBY menemukan kembali semangat hidupnya melalui melukis, menulis puisi, dan menciptakan lagu. Ketiga aktivitas tersebut menjadi cara SBY menyalurkan perasaan kehilangan dan sekaligus menemukan makna baru dalam hidupnya.
Setiap lukisan, kata AHY, memiliki cerita tersendiri. Banyak di antara karya SBY menggambarkan kerinduan dan cinta terhadap mendiang istrinya. Begitu pula dalam bait-bait puisi dan lagu yang ia tulis — semua lahir dari hati yang pernah hancur namun berusaha pulih.
Kini, SBY dikenal bukan hanya sebagai tokoh politik, tetapi juga sebagai seniman produktif. Ia telah menggelar pameran lukisan pribadi dan meluncurkan album berisi lagu-lagu ciptaannya, banyak di antaranya dipersembahkan untuk Ani Yudhoyono.
Bagi AHY, apa yang dilakukan ayahnya adalah contoh nyata bahwa kebahagiaan bisa diciptakan, bahkan setelah melalui masa kehilangan yang begitu dalam.
Perjalanan Akhir Hidup Ani Yudhoyono
Ani Yudhoyono menghembuskan napas terakhir pada Sabtu, 1 Juni 2019, pukul 11.50 waktu Singapura di National University Hospital (NUH) setelah berjuang melawan penyakit kanker darah.
Sebelumnya, sejak 2 Februari 2019, Ani menjalani perawatan intensif. Selama masa pengobatan, ia selalu didampingi oleh SBY, anak-anak, dan menantunya secara bergantian.
Salah satu tindakan medis yang pernah dilakukan adalah transplantasi sumsum tulang belakang dari adiknya, Pramono Edhie Wibowo, namun upaya tersebut tidak membawa hasil yang diharapkan. Kondisi Ani sempat membaik sesaat, sebelum akhirnya kembali menurun dan harus dirawat di ICU hingga berpulang.
Ani Yudhoyono wafat di usia 66 tahun. Kepergiannya menjadi duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia yang mengenal sosoknya sebagai ibu negara yang ramah, cerdas, dan berwibawa.
Kisah Kehidupan dan Perjuangan Ani Yudhoyono
Lahir di Yogyakarta, Ani merupakan putri dari Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, salah satu tokoh militer bersejarah Indonesia. Bernama lengkap Kristiani Herrawati Yudhoyono, ia sempat menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI), namun memilih berhenti demi mendampingi ayahnya bertugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan.
Ani dikenal sebagai sosok yang cerdas, tegas, namun penuh kasih. Dalam dunia politik, ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, serta aktif mendampingi SBY selama dua periode kepresidenannya (2004–2014).
Selain aktif di politik, Ani juga dikenal gemar memotret. Ia sering membawa kamera di berbagai kunjungan resmi dan mengabadikan momen berharga bersama rakyat di seluruh penjuru negeri. Hobinya itu bahkan melahirkan beberapa buku foto dokumentasi perjalanan kenegaraan.
Cinta dan Ketabahan Keluarga Yudhoyono
Kenangan AHY kenang Cikeas gelap bukan sekadar kisah tentang kehilangan, melainkan cerita tentang cinta, ketabahan, dan kebangkitan. Dari masa kelam itu, keluarga Yudhoyono belajar arti ketulusan dan perjuangan untuk tetap kuat.
Bagi AHY, dua tahun “gelap” itu menjadi pembelajaran hidup bahwa kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan, sebagaimana SBY berjuang menata hati dan kembali berkarya setelah kehilangan belahan jiwanya.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap duka, selalu ada harapan. Dan dari setiap kehilangan, selalu lahir kekuatan baru untuk melangkah ke depan — sebagaimana yang dilakukan oleh keluarga Yudhoyono, yang terus memberikan inspirasi bagi bangsa






