Presiden Prabowo Subianto menargetkan BUMN mampu menyetor keuntungan Rp 1.665 triliun per tahun atau setara 10% dari aset. Bagaimana kondisi nyata BUMN saat ini, dan mungkinkah target ambisius ini tercapai?
MonetaPost – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengemukakan harapan besar terhadap kinerja perusahaan pelat merah. Ia ingin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat menghasilkan keuntungan setara 10% dari total aset yang dikelola.
Dalam pidatonya pada pembukaan Musyawarah Nasional ke-6 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta, Senin (29/9/2025), Prabowo mencontohkan perhitungan sederhana: dengan total aset US$ 1.060 miliar yang dimiliki oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danatara, seharusnya negara bisa mengantongi keuntungan US$ 100 miliar setiap tahun. Jika dikonversikan ke rupiah dengan asumsi kurs Rp16.665/US$, angka tersebut setara dengan Rp 1.665 triliun per tahun.
“Rp 1.600 triliun saudara-saudara harusnya,” tegas Prabowo dalam pidatonya.
Tantangan Nyata: Mencapai ROA 10% Bukan Perkara Mudah
Meski optimistis, Prabowo juga menyadari bahwa target tersebut tidak mudah dicapai. Menurutnya, jika BUMN bisa meraih return on asset (RoA) 5% saja, maka negara tetap bisa mengantongi keuntungan sekitar Rp 800 triliun. Angka tersebut cukup signifikan untuk menopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa menimbulkan defisit besar.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kondisi berbeda. Saat ini, sebagian besar perusahaan BUMN bahkan belum mampu mencapai RoA 3%. Dengan demikian, capaian RoA 10% masih menjadi target yang terbilang ambisius dan membutuhkan transformasi besar-besaran.
“Kita kasih target dalam 3 tahun. Kita tunggu hasil mereka. InsyaAllah akan tercapai,” ujar Prabowo dengan penuh keyakinan.
Laba BUMN: Jauh dari Harapan
Jika melihat data terbaru, BUMN pada tahun lalu hanya mencatatkan laba konsolidasian Rp 304 triliun. Angka tersebut masih sangat jauh dari target Rp 1.665 triliun yang diharapkan Presiden.
Dari sisi RoA, kinerja perusahaan pelat merah juga menunjukkan variasi yang besar. Dari 26 emiten BUMN (termasuk anak dan cucu usaha) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, hanya satu perusahaan yang berhasil mencatatkan RoA di atas 10% dalam 12 bulan terakhir, yakni Aneka Tambang (ANTM). Keberhasilan ANTM didorong oleh harga emas global yang meningkat dan ekspansi bisnis nikel.
Selain itu, terdapat empat emiten dengan RoA antara 5–10%, yaitu:
-
Timah (TINS)
-
Bukit Asam (PTBA)
-
Telkom Indonesia (TLKM)
-
Elnusa (ELSA)
Lalu, tiga emiten berada di kisaran 3–5%:
-
Perusahaan Gas Negara (PGAS)
-
Pertamina Geothermal Energy (PGEO)
-
Semen Baturaja (SMBR)
Adapun sepuluh emiten BUMN lain mampu membukukan RoA positif di kisaran 1–3%.
Namun, masih terdapat delapan emiten dengan RoA negatif. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian BUMN masih mengalami kerugian dan belum mampu memaksimalkan potensi aset yang mereka miliki.
Apa Itu RoA dan Mengapa Penting?
Return on Asset (RoA) adalah salah satu indikator utama yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan asetnya guna menghasilkan keuntungan. Semakin tinggi RoA, semakin efisien perusahaan dalam mengelola asetnya.
Menurut Investopedia, RoA di atas 5% umumnya dianggap baik, sedangkan di atas 20% masuk kategori sangat baik. Namun, angka ini tidak bisa dipukul rata. Misalnya, perusahaan teknologi biasanya memiliki RoA lebih tinggi karena jumlah aset fisiknya relatif kecil dibandingkan produsen otomotif atau pertambangan.
Dengan kata lain, membandingkan RoA antar industri harus dilakukan dengan hati-hati. Meski begitu, standar minimal 5% tetap menjadi patokan yang sehat untuk industri perbankan maupun sektor energi.
Jalan Panjang Transformasi BUMN
Target yang dicanangkan Presiden Prabowo menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin BUMN tidak hanya menjadi penyumbang dividen, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, untuk mencapai laba Rp 1.665 triliun per tahun, ada sejumlah langkah besar yang perlu dilakukan:
-
Restrukturisasi dan Konsolidasi
Merampingkan BUMN yang tumpang tindih dan mengonsolidasikan unit usaha agar lebih efisien. -
Digitalisasi dan Inovasi
Memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan layanan, efisiensi operasional, serta mengurangi biaya produksi. -
Penguatan Tata Kelola
Mengurangi praktik korupsi, meningkatkan transparansi, dan memastikan manajemen profesional yang berorientasi pada hasil. -
Diversifikasi Sumber Pendapatan
Tidak hanya bergantung pada sektor energi dan pertambangan, tetapi juga memperluas sayap ke sektor teknologi, logistik, dan keuangan digital.
Ambisi Besar, Realitas Menantang
Target Presiden Prabowo agar BUMN bisa menyumbangkan keuntungan Rp 1.665 triliun per tahun memang ambisius, bahkan cenderung sulit dicapai dalam jangka pendek. Namun, ambisi besar ini bisa menjadi pendorong transformasi BUMN agar lebih kompetitif, transparan, dan memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional.
Jika strategi restrukturisasi, digitalisasi, serta tata kelola diperkuat, maka dalam beberapa tahun ke depan BUMN berpotensi meningkatkan RoA hingga menyentuh angka ideal. Dengan begitu, cita-cita menjadikan BUMN sebagai motor ekonomi nasional bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan.