Goldman Sachs memprediksi harga minyak Brent bisa melonjak ke US$110 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz, jalur vital 52% ekspor minyak dunia. Simak analisis lengkap dampaknya bagi pasar energi global dan ekonomi dunia.
MonetaPost – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanaskan pasar energi global. Kali ini, perhatian dunia tertuju pada potensi penutupan Selat Hormuz oleh Iran — sebuah skenario yang dapat mengerek harga minyak dunia hingga tembus US$110 per barel, menurut proyeksi bank investasi global Goldman Sachs.
Dalam riset yang dikutip oleh Reuters pada Senin (23/6), Goldman Sachs menyampaikan bahwa skenario penutupan Selat Hormuz akan menjadi ancaman serius bagi kestabilan pasar minyak global. Jalur sempit ini merupakan titik strategis yang dilalui hampir 52 persen dari total pasokan minyak dunia, menjadikannya sebagai jalur perdagangan energi paling krusial di planet ini.
Selat Hormuz: Jalur Vital Energi Dunia
Selat Hormuz, yang terletak di antara Teluk Persia dan Teluk Oman, menjadi jalur ekspor utama bagi negara-negara kaya minyak seperti Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, dan Irak. Minyak dari negara-negara ini sebagian besar dikirim ke pasar-pasar utama di Asia, Eropa, dan Amerika melalui selat ini.
Jika jalur tersebut ditutup, baik secara penuh maupun sebagian, maka akan terjadi gangguan distribusi besar-besaran yang tidak hanya memengaruhi harga minyak, tetapi juga kestabilan geopolitik dan ekonomi global.
Menurut Goldman Sachs, jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak mentah Brent bisa melonjak ke angka psikologis US$110 per barel. Lonjakan ini disebut sebagai respons pasar terhadap ketakutan akan kelangkaan pasokan di tengah permintaan global yang masih tinggi.
Ketegangan Meningkat: Iran vs AS
Kekhawatiran pasar meningkat setelah AS meluncurkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, memicu reaksi keras dari parlemen Iran. Dalam perkembangannya, parlemen negara tersebut menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz sebagai bagian dari respons strategis terhadap tindakan militer AS.
Meskipun langkah ini belum dieksekusi secara resmi, potensi tersebut sudah cukup untuk mendorong para investor melakukan aksi beli besar-besaran atas minyak, menyebabkan harga minyak dunia melonjak ke level tertinggi sejak Januari.
Goldman Sachs menyatakan bahwa dalam skenario moderat, gangguan pengiriman minyak dari Iran saja bisa berdampak besar. Mereka memperkirakan bahwa pengurangan pasokan sebesar 1,75 juta barel per hari (bpd) selama enam bulan akan mendorong harga Brent mencapai US$90 per barel.
Apabila gangguan pasokan berlanjut dalam jangka waktu yang lebih panjang, Goldman memproyeksikan harga minyak akan tetap tinggi, dengan kisaran US$70 hingga US$80 per barel hingga tahun depan.
Proyeksi Harga Minyak Kuartal IV 2025
Walaupun ada potensi lonjakan harga dalam jangka pendek, Goldman Sachs memperkirakan bahwa pada kuartal IV tahun 2025, harga minyak Brent akan kembali stabil di sekitar US$95 per barel. Stabilitas ini diasumsikan akan terjadi seiring dengan adanya tekanan diplomatik dari negara-negara besar, termasuk AS dan Tiongkok, untuk mencegah krisis energi berkepanjangan.
“Kami meyakini bahwa insentif ekonomi global untuk mencegah gangguan parah di Selat Hormuz akan sangat kuat, mengingat dampaknya bisa meluas hingga ke sektor keuangan dan politik global,” demikian pernyataan resmi Goldman.
Tak Hanya Minyak: Harga Gas Eropa Juga Terancam Naik
Selain minyak mentah, ketegangan di Timur Tengah juga memberi efek domino terhadap komoditas energi lainnya, seperti gas alam. Goldman Sachs memprediksi bahwa pasar gas Eropa akan menghadapi tekanan tambahan.
Indeks acuan TTF (Title Transfer Facility) untuk gas alam di Eropa diperkirakan melonjak hingga mendekati €74 per megawatt-jam, atau setara dengan US$25 per MMBtu (Million British Thermal Units). Kenaikan ini terjadi karena Eropa masih menghadapi keterbatasan pasokan pasca krisis energi tahun sebelumnya dan belum sepenuhnya pulih dari ketergantungan pada impor energi dari kawasan Timur Tengah dan Rusia.
AS Aman, Tapi Tetap Waspada
Sementara itu, harga gas alam di Amerika Serikat diprediksi tetap stabil, berkat kapasitas ekspor LNG yang besar dan rendahnya kebutuhan impor gas domestik. Namun, ketegangan geopolitik tetap menjadi faktor yang harus diwaspadai oleh para pelaku pasar, mengingat potensi dampak tidak langsung terhadap perdagangan global dan stabilitas finansial.
Risiko Nyata, Respon Global Diperlukan
Prediksi Goldman Sachs soal potensi lonjakan harga minyak ke US$110 per barel menunjukkan betapa rapuhnya ketergantungan global terhadap Selat Hormuz. Penutupan selat ini—bahkan hanya sementara—dapat memicu lonjakan harga komoditas, inflasi global, dan memperburuk ketegangan antara negara-negara produsen dan konsumen energi.
Negara-negara besar, termasuk Indonesia, perlu menyiapkan langkah antisipatif, seperti diversifikasi sumber energi, penguatan cadangan energi nasional, serta diplomasi aktif untuk menjaga kestabilan kawasan.
Selama belum ada penyelesaian politik yang konkret, pasar minyak dan energi akan tetap berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Para investor, pelaku bisnis, dan pemerintah perlu bersiap menghadapi dinamika yang bisa berubah sewaktu-waktu.
One Comment