Home / Ekonomi / Dilema Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025: Manufaktur Stagnan, Sektor Informal Melesat

Dilema Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025: Manufaktur Stagnan, Sektor Informal Melesat

Manufaktur Stagnan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 2025 mencapai 5,12% YoY, namun masih didominasi sektor informal sementara industri manufaktur stagnan di bawah 20%. Simak analisis lengkapnya di sini.

MonetaPost –  Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tercatat sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini menunjukkan stabilitas ekonomi, namun di balik capaian tersebut terdapat tantangan struktural yang patut dicermati. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pertumbuhan masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, terutama yang berasal dari sektor informal.

Berdasarkan pengeluaran, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% YoY dengan kontribusi 54,25% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menyumbang 27,83% dengan pertumbuhan 6,99% YoY, tertinggi sejak kuartal II 2021. Ekspor juga menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 10,67% YoY, sementara impor tumbuh 11,65% YoY. Satu-satunya sektor yang mengalami kontraksi adalah konsumsi pemerintah yang turun 0,33% YoY.

Manufaktur Stagnan di Bawah 20%

Industri pengolahan atau manufaktur hanya tumbuh 5,68% YoY pada kuartal II 2025. Meski menjadi sektor dengan kontribusi terbesar terhadap PDB yaitu 18,67%, angka ini belum mampu menembus batas 20% sejak kuartal II 2020. Bahkan, pada kuartal II 2022 kontribusinya sempat turun ke titik terendah 17,92%.

Kondisi stagnan ini menjadi perhatian karena sektor manufaktur selama ini diandalkan sebagai motor penggerak ekonomi dan pencipta lapangan kerja formal. Lemahnya kontribusi manufaktur berarti potensi penciptaan kerja berkualitas juga terhambat.

Dominasi Pekerja Sektor Informal

Data BPS Februari 2025 menunjukkan bahwa dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang, sekitar 86,58 juta atau hampir 60% bekerja di sektor informal. Angka ini meningkat dari 59,17% pada Februari 2024 dan tetap berada pada tren tinggi pascapandemi COVID-19. Sebaliknya, pekerja di sektor formal hanya mencapai 40,60% atau 59,19 juta orang.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih belum sepenuhnya menciptakan lapangan kerja formal yang stabil, dan mayoritas masyarakat masih mengandalkan pendapatan dari sektor dengan perlindungan sosial yang minim.

Ketahanan Sektor Informal di Tengah Tantangan

Pranjul Bhandari, Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research, menilai bahwa sektor informal menunjukkan ketahanan yang lebih baik dibandingkan sektor formal. Belanja masyarakat pada makanan, minuman, pakaian, dan produk energi meningkat, memberikan dukungan pada pertumbuhan konsumsi domestik.

Meski demikian, dominasi sektor informal juga menimbulkan kekhawatiran jangka panjang. Struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada sektor ini berpotensi menghambat produktivitas nasional dan menurunkan daya saing Indonesia di kancah global.

Dampak Tarif Impor AS dan Peluang bagi Indonesia

Salah satu faktor eksternal yang memengaruhi prospek pertumbuhan adalah kebijakan tarif impor sebesar 19% yang dikenakan Amerika Serikat terhadap barang dari Indonesia. Menurut Pranjul, kebijakan ini bisa menekan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,3 poin persentase dalam jangka pendek.

Namun, dalam jangka menengah, ada peluang yang dapat dimanfaatkan. Perubahan rantai pasok global akibat tarif AS membuat banyak perusahaan mencari lokasi produksi baru. Indonesia berpotensi menarik investasi khususnya di sektor manufaktur berteknologi menengah dan barang konsumsi seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur.

Syarat untuk Menarik Investasi Asing

Agar dapat memanfaatkan peluang ini, Indonesia perlu melakukan sejumlah reformasi strategis. Langkah-langkah yang direkomendasikan antara lain:

  1. Peningkatan Infrastruktur – Mempercepat pembangunan jalan, pelabuhan, dan fasilitas logistik.

  2. Perluasan Perjanjian Perdagangan – Menjalin kesepakatan baru dengan negara-negara maju.

  3. Pengembangan SDM – Meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk mendukung sektor manufaktur berteknologi.

  4. Penyederhanaan Regulasi – Memangkas birokrasi dan mempermudah perizinan investasi.

Jika langkah ini berhasil, arus masuk investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) diproyeksikan melonjak dalam 2–3 tahun ke depan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 memang menunjukkan angka positif, tetapi kualitas pertumbuhan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Dominasi sektor informal dan stagnannya kontribusi manufaktur mengindikasikan perlunya pergeseran strategi pembangunan ekonomi.

Mendorong penguatan sektor manufaktur, memperluas lapangan kerja formal, dan memanfaatkan peluang dari pergeseran rantai pasok global adalah kunci untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan reformasi tepat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi tujuan utama investasi dan meningkatkan daya saing di tingkat global. Tantangannya besar, tetapi momentum ini tidak boleh disia-siakan.

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *