Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong. Mahfud MD menyebut langkah ini sebagai tanda berakhirnya penyanderaan politik lewat rekayasa hukum.
MonetaPost – Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah strategis dan kontroversial dengan memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada eks Menteri Perdagangan Tom Lembong. Kebijakan ini memicu diskursus publik dan mendapat dukungan dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD, yang menyebut bahwa inilah saatnya Indonesia keluar dari bayang-bayang rekayasa hukum bernuansa politik.
Dalam unggahannya di platform X (dulu Twitter) pada Rabu (1/8/2025), Mahfud menegaskan bahwa presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengadang penyalahgunaan hukum demi kepentingan politik. Ia mengingatkan agar praktik penyanderaan politik dengan cara merekayasa proses hukum tidak lagi menjadi norma. “Presiden kini punya posisi untuk menghalau semua bentuk penyanderaan hukum yang dipakai sebagai alat politik,” ujar Mahfud.
Amnesti dan Abolisi: Lebih dari Sekadar Pengampunan
Amnesti yang diberikan kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong bukan sekadar pengampunan individual, tetapi menjadi pesan simbolis dan politis. Mahfud MD menilai kebijakan ini merupakan bagian dari strategi Prabowo dalam menjaga stabilitas dan keadilan nasional menjelang peringatan 80 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Langkah ini juga berlandaskan hukum konstitusional, yakni Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo mengirimkan surat resmi kepada DPR untuk meminta pertimbangan pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada 1.116 orang, termasuk Hasto Kristiyanto. DPR menyetujui permintaan tersebut keesokan harinya.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa pengesahan ini dilakukan demi menciptakan rekonsiliasi nasional dan menjaga ketenteraman politik. Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas juga menegaskan bahwa pengampunan ini bukan hanya simbolik, melainkan langkah nyata untuk memperkuat kohesi bangsa.
Latar Belakang: Vonis Tipikor kepada Hasto dan Tom
Sebelum pengampunan diberikan, baik Hasto maupun Tom telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Tom Lembong dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara karena dinilai terbukti merugikan keuangan negara dalam perkara impor gula kristal mentah. Majelis hakim menyebut bahwa akibat keputusan Tom yang memberi izin impor kepada perusahaan swasta, negara merugi hingga Rp 194,7 miliar karena gula dijual ke BUMN PT PPI dengan harga lebih mahal.
Namun, pengadilan mengakui bahwa Tom tidak menikmati keuntungan pribadi dari kejahatan tersebut. Ia juga dinilai kooperatif selama proses hukum, sopan di pengadilan, dan tidak mempersulit jalannya sidang.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto divonis 3 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 25 Juli 2025. Ia terbukti menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp 400 juta dalam upaya meloloskan proses pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR dari PDIP. Selain itu, Hasto juga dijatuhi denda Rp 250 juta, dengan ancaman hukuman tambahan jika tidak dibayar.
Namun, dakwaan tambahan yang menyatakan bahwa Hasto berusaha menghalangi penyidikan terhadap kasus Harun Masiku tidak terbukti di mata majelis hakim. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut 7 tahun penjara.
Pesan Politik Prabowo: Melawan Instrumentalisasi Hukum
Langkah Presiden Prabowo mengeluarkan amnesti dan abolisi di tengah sorotan publik dianggap sebagai sinyal tegas terhadap aparat hukum dan elite politik. Mahfud MD memaknainya sebagai upaya membendung pola berulang di mana penegakan hukum dijadikan alat tekanan politik, khususnya menjelang atau pasca pemilu.
“Ke depan, tak boleh lagi ada yang menggunakan instrumen hukum untuk menyandera lawan politik,” ujar Mahfud. Ia menyarankan agar keadilan dijadikan landasan utama dalam proses hukum, bukan alat untuk kepentingan kekuasaan semata.
Langkah ini juga dipandang sebagai bagian dari strategi menjaga stabilitas nasional. Mengingat 2025 merupakan tahun penting menjelang peringatan emas kemerdekaan Indonesia, Prabowo tampaknya ingin menunjukkan bahwa pemerintahannya akan berpihak pada rekonsiliasi, keadilan, dan persatuan nasional.
Awal Baru atau Preseden Baru?
Meski menuai apresiasi dari beberapa pihak, keputusan memberikan amnesti dan abolisi ini tetap menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, ini bisa menjadi langkah awal menuju penyembuhan politik dan hukum Indonesia. Di sisi lain, publik juga perlu waspada agar langkah ini tidak dijadikan preseden negatif yang melemahkan supremasi hukum di masa mendatang.
Namun satu hal yang pasti, keputusan Prabowo telah mengubah lanskap politik nasional—dan menjadi tonggak penting dalam hubungan antara kekuasaan eksekutif dan independensi hukum di Indonesia.