Fenomena ‘rojali’ atau rombongan jarang beli tak hanya terjadi di Indonesia. Mal-mal di Amerika Serikat kini beralih fokus dari ritel ke kuliner dan hiburan demi menarik pengunjung.
MonetaPost – Fenomena “rojali” atau “rombongan jarang beli”, yang kerap terdengar di pusat perbelanjaan Indonesia, ternyata bukan sesuatu yang eksklusif terjadi di Tanah Air. Di Amerika Serikat, tren serupa mulai menyita perhatian pengelola pusat perbelanjaan besar. Alih-alih datang untuk berbelanja pakaian atau barang elektronik, sebagian besar pengunjung kini lebih tertarik menjadikan mal sebagai tempat kulineran dan hiburan.
Temuan ini diungkap oleh Yelp, perusahaan teknologi asal AS yang dikenal sebagai penyedia ulasan dan rekomendasi bisnis lokal. Berdasarkan analisis tren dari 2019 hingga 2024, Yelp menyimpulkan bahwa mal-mal di AS mulai mengubah strategi bisnisnya secara signifikan: dari ritel konvensional ke sektor makanan dan hiburan.
“Meskipun ritel masih memiliki tempat, kini makanan dan hiburan memainkan peran dominan dalam menarik pengunjung ke pusat perbelanjaan,” demikian keterangan resmi Yelp, dikutip pada Kamis (31/7).
Restoran Jadi Magnet Utama Pengunjung Mal
Data Yelp menunjukkan bahwa dari 25 merek gerai terpopuler yang ada di mal Amerika, sebanyak 17 di antaranya berasal dari sektor makanan. Bahkan, jumlah restoran dan gerai kuliner di pusat perbelanjaan meningkat sekitar 7 persen selama lima tahun terakhir.
Salah satu tren paling mencolok adalah menjamurnya toko teh boba, yang melonjak hingga 113 persen sejak 2019. Selain itu, gerai wafel naik 77 persen, restoran vegan meningkat 54 persen, dan makanan Filipina mencatatkan kenaikan 36 persen.
Brand seperti The Cheesecake Factory bahkan menempati posisi teratas sebagai daya tarik utama bagi konsumen yang datang ke mal. Di posisi kedua, ada Din Tai Fung, restoran asal Taiwan yang juga makin populer di kalangan masyarakat AS.
Hanya Dua Ritel Masuk Daftar Top 10
Menariknya, hanya dua merek ritel non-kuliner yang mampu bertahan di daftar 10 besar penyumbang lalu lintas pengunjung terbanyak: Macy’s di posisi ketiga dan Target di peringkat kedelapan. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa sektor ritel tradisional semakin tersisih oleh tren konsumsi gaya hidup baru, yakni makan dan hiburan.
Yelp menyebut, toko-toko yang mampu memberikan “pengalaman unik” menjadi kategori yang tetap menunjukkan pertumbuhan positif. Misalnya, pusat permainan virtual reality (VR) mengalami lonjakan pengunjung hingga 79 persen sejak 2019. Layanan spa dan kesehatan juga meningkat 50 persen, diikuti oleh toko ponsel (40 persen), dan toko barang bekas (29 persen).
Mengapa Rojali Menjadi Tren Global?
Pergeseran minat ini bukan sekadar kebiasaan sesaat, melainkan refleksi dari perubahan perilaku konsumen modern. Di era pasca-pandemi dan digitalisasi yang pesat, orang-orang tidak lagi datang ke mal semata-mata untuk belanja kebutuhan pokok. Mereka mencari tempat berkumpul, bersantai, dan menikmati waktu bersama keluarga maupun teman-teman.
Fenomena “rojali” — yang dahulu kerap dilihat sebagai kebiasaan buruk karena tidak berdampak langsung pada penjualan — kini justru menjadi petunjuk penting bagi para pelaku bisnis. Mal yang dulunya bergantung pada gerai fashion dan elektronik kini harus mengakomodasi lebih banyak zona makanan, ruang komunitas, dan hiburan digital.
Strategi Mal di AS Berubah Total
Melihat tren tersebut, banyak pengelola pusat perbelanjaan di AS mulai beradaptasi. Mal tidak lagi diposisikan sebagai tempat transaksi ekonomi semata, melainkan sebagai ruang sosial yang dinamis. Restoran dengan konsep terbuka, ruang bermain anak, tempat karaoke, hingga bioskop mini menjadi fitur yang umum ditemukan.
Yelp menegaskan bahwa keberhasilan mal ke depan akan sangat tergantung pada kemampuan mereka menghadirkan pengalaman yang menyeluruh dan menyenangkan.
“Integrasi antara tempat makan, pengalaman hiburan, dan teknologi akan menjadi kunci dalam menjaga relevansi pusat perbelanjaan,” jelas Yelp dalam laporannya.
Metodologi Yelp: Kombinasi Data dan Sentimen
Analisis Yelp dilakukan dengan mengidentifikasi merek-merek yang memiliki minimal 10 gerai di pusat perbelanjaan. Mereka kemudian membandingkan frekuensi pencarian dan ulasan pada periode September 2023–Agustus 2024 dengan 12 bulan sebelumnya. Kenaikan popularitas suatu bisnis ditentukan berdasarkan seberapa sering nama bisnis tersebut muncul dalam jutaan pencarian pengguna Yelp.
Rojali Bukan Lagi Masalah, Tapi Peluang
Fenomena rombongan jarang beli bukan lagi sesuatu yang perlu ditakuti, baik oleh pengusaha ritel maupun pengelola pusat perbelanjaan. Justru, pola konsumsi ini membuka peluang untuk menciptakan mal yang lebih humanis, interaktif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Seperti yang terjadi di Amerika Serikat, mal kini bukan hanya tempat belanja, tetapi destinasi sosial dan gaya hidup. Pengalaman adalah produk utama, dan jika berhasil menyajikannya, maka pusat perbelanjaan bisa tetap menjadi jantung dari komunitas urban masa kini.