Home / Politik / Saat AS Melonggarkan Tarif di Asia: China Mencari Nafas dalam Perang Dagang yang Semakin Rumit

Saat AS Melonggarkan Tarif di Asia: China Mencari Nafas dalam Perang Dagang yang Semakin Rumit

Tarif

Langkah Amerika Serikat memotong tarif perdagangan dengan negara-negara Asia menekan posisi ekspor China di kawasan. Artikel ini membahas respons Beijing dan dinamika geopolitik serta ekonominya secara menyeluruh.

MonetaPost – Amerika Serikat kembali mengguncang peta perdagangan Asia dengan rangkaian kesepakatan tarif rendah bersama negara-negara mitra strategisnya seperti Jepang, Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Langkah ini bukan hanya penguatan hubungan dagang, tapi juga tekanan nyata terhadap Tiongkok yang selama ini menjadi motor ekspor kawasan.

Di tengah perubahan kebijakan tarif yang semakin memihak negara-negara Asia Tenggara, para analis memperkirakan Beijing akan memperhatikan setiap detail dalam pakta perdagangan bilateral tersebut. Fokus utamanya? Menghindari potensi risiko langsung maupun tak langsung terhadap kepentingan ekspornya yang selama ini bergantung pada jalur regional.

Salah satu klausul yang jadi perhatian adalah terkait transhipment—praktik memindahkan barang lewat negara ketiga untuk menghindari tarif. Pemerintah AS, sejak masa Donald Trump, sudah menetapkan klausul tegas terhadap barang-barang semacam ini. Kini, barang China yang dialihkan melalui Vietnam bisa dikenai tarif hingga 40%, dua kali lipat dari tarif dasar. Ini ancaman nyata terhadap jalur alternatif ekspor China yang sebelumnya menjadi celah menghindari tarif tinggi.

AS Perkuat Jaringan Ekonomi Asia Pasifik, China Terpojok

Presiden Donald Trump terus mendorong strategi tarif timbal balik yang memberi insentif kepada negara-negara mitra yang patuh dan menghukum mereka yang tidak. Hingga akhir Juli, Jepang, Vietnam, Indonesia, dan Filipina telah meraih kesepakatan tarif yang lebih rendah, sebagai imbal balik atas komitmen investasi dan penguatan kerja sama ekonomi.

Misalnya, Jepang kini dikenai tarif hanya 15%, turun dari 25%, setelah berkomitmen menanamkan investasi besar senilai lebih dari US$550 miliar ke AS. Trump memuji kesepakatan tersebut sebagai “terbesar dalam sejarah”, menekankan bahwa AS akan memperoleh “90% dari keuntungan.” Sementara Filipina berhasil menurunkan tarif ekspornya ke angka 19% setelah pertemuan resmi antara Presiden Marcos Jr. dan Trump.

Bagi negara-negara Asia, ini bukan sekadar persoalan tarif. Keberhasilan meraih kesepakatan dengan Washington memperkuat posisi geopolitik mereka, sekaligus menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih dianggap sebagai poros ekonomi yang vital—bahkan tak tergantikan.

China Menganalisis dan Bertahan

China kini berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, negara ini tetap merupakan mitra dagang terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Jepang. Nilai perdagangan bilateral dengan Indonesia pada 2024 tercatat US$147,8 miliar, naik 6,1% dari tahun sebelumnya. Sementara perdagangan dengan Vietnam melonjak 14,6% menjadi US$257,8 miliar.

Namun, keunggulan tarif yang kini dinikmati oleh tetangganya dapat membuat ekspor China kehilangan daya saing. Hal ini berisiko memaksa pesanan dari pembeli global dialihkan ke pusat manufaktur lain di kawasan.

Menurut para pengamat, Beijing kemungkinan akan:

  • Menghindari konfrontasi langsung dengan Washington

  • Mendorong kerja sama dengan Uni Eropa, BRICS, dan ASEAN

  • Meningkatkan diplomasi perdagangan untuk membuka jalur-jalur baru ekspor

Namun, bukan berarti jalan ini bebas hambatan. Uni Eropa, misalnya, telah lama menyuarakan kekhawatiran atas praktik perdagangan China yang dianggap tidak adil, termasuk kelebihan kapasitas dan pelanggaran kekayaan intelektual.

KTT UE-China: Harapan dan Keraguan

Pada 24 Juli, Beijing menjadi tuan rumah KTT tingkat tinggi dengan Uni Eropa. Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Qiang akan bertemu dengan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

Meskipun ekspektasi terhadap terobosan besar cukup rendah, beberapa sinyal positif telah muncul. China baru-baru ini mengecualikan sejumlah produsen brendi besar Eropa dari bea anti-dumping, sebuah langkah yang dianggap sebagai “penawaran goodwill.” Namun, para analis memperingatkan bahwa simbolisme semata tidak cukup jika tidak diikuti langkah konkret.

Gary Ng, ekonom senior di Natixis, menekankan bahwa peluang terbesar ada pada isu-isu seperti:

  • Akses pasar

  • Sanksi ekspor tertentu

  • Tarif kendaraan listrik

Namun begitu, kerja sama penuh masih sulit tercapai karena adanya ketegangan mendasar terkait perang Ukraina dan dukungan China terhadap Rusia.

Langkah Berikutnya: Menahan Diri, Meningkatkan Diversifikasi

Dengan latar belakang tekanan domestik—pertumbuhan melambat, investasi swasta lesu, dan populasi menua—Beijing tidak punya ruang besar untuk diplomasi agresif. Sebaliknya, seperti disampaikan oleh Benjamin Ho dari RSIS, strategi China kini lebih fokus pada “ulur waktu dan perluas opsi ekspor.”

Namun ini bukan tanpa risiko. Barang-barang China yang dialihkan dari pasar AS bisa membanjiri kawasan lain seperti Asia Tenggara dan Eropa, menimbulkan tekanan terhadap pelaku industri lokal.

Tantangan Ekonomi China Baru Dimulai

Ketika AS memperkuat cengkeramannya atas perdagangan regional, China terdesak untuk mengevaluasi ulang strategi globalnya. Jika tidak ingin kehilangan pengaruh ekonomi, Beijing harus menavigasi jalur diplomasi yang cermat, memperluas pasar non-Barat, dan meredakan ketegangan tarif—sekaligus menjaga stabilitas domestik yang rapuh.

Perang tarif belum usai, dan pertarungan pengaruh dagang kini berpindah dari meja negosiasi ke strategi jangka panjang yang lebih kompleks.

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *