Dugaan ijazah palsu Jokowi kembali mencuat. Pengamat Buni Yani menilai Jokowi semakin tertekan dan menggunakan pengaruhnya di pemerintahan Prabowo. Apakah ini pertanda krisis kepercayaan?
MonetaPost – Dugaan kasus ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali mengemuka dan kini memasuki babak yang lebih sensitif. Beberapa peristiwa terkini dinilai menjadi indikator bahwa Presiden Jokowi tengah menghadapi tekanan yang kian besar di tengah publik yang menyoroti kredibilitas akademiknya.
Peneliti media dan politik, Buni Yani, menyampaikan analisis kritis atas sejumlah langkah Jokowi belakangan ini. Dalam pernyataannya yang diunggah melalui akun Facebook pribadinya pada Senin, 28 Juli 2025, Buni menyebutkan bahwa Jokowi terlihat semakin panik dalam merespons isu dugaan ijazah palsu yang belum juga mereda.
Salah satu bentuk kepanikan itu, kata Buni, terlihat dari pernyataan Jokowi yang kembali menyebut nama Kasmudjo sebagai dosen pembimbing skripsinya. Pernyataan itu disampaikan Jokowi ketika menghadiri reuni alumni Fakultas Kehutanan angkatan 1980, yang digelar pada Sabtu, 26 Juli 2025.
Namun ironisnya, Kasmudjo sendiri telah membantah klaim tersebut di hadapan publik beberapa waktu lalu. Pertentangan antara pengakuan Jokowi dan bantahan Kasmudjo menjadi bahan bakar baru bagi publik dan pengamat politik yang sejak lama mempertanyakan keaslian ijazah sarjana Jokowi dari UGM.
Pertemuan Misterius di Solo: Isyarat Kekuasaan atau Kepanikan?
Kecurigaan publik semakin meningkat setelah pertemuan antara Jokowi dan Presiden Prabowo Subianto di Solo, usai keduanya menghadiri acara Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam sejumlah foto yang beredar luas, tampak Presiden Prabowo duduk sejajar dengan tiga tokoh lainnya, sementara di seberang meja duduk Jokowi bersama Ibu Negara Iriana dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Buni Yani, rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Jokowi tengah mengerahkan seluruh pengaruhnya dalam pemerintahan Prabowo. Ia menilai, kendati Jokowi tidak lagi menjabat sebagai presiden secara formal, ia masih memegang kendali atas sejumlah institusi strategis dalam pemerintahan saat ini.
“Jokowi ingin memastikan bahwa ia masih punya taring politik. Melalui simbolisasi pertemuan dan pernyataan publik, ia mencoba menciptakan kesan bahwa kekuasaannya belum habis,” ujar Buni.
Pengaruh Politik di Tengah Sorotan Ijazah
Buni Yani lebih lanjut menjelaskan bahwa Jokowi kemungkinan besar sadar bahwa politik di Indonesia banyak bertumpu pada persepsi dan citra. Oleh karena itu, upaya mempertahankan kesan sebagai tokoh kuat yang masih punya kuasa dianggap lebih penting dibanding membuktikan kebenaran atau substansi dari tuduhan yang dilayangkan kepadanya.
“Dia ingin menunjukkan kepada publik, terutama kepada pendukung loyalisnya di daerah-daerah dan basis penerima bantuan sosial, bahwa semua masih dalam kendali. Ini adalah komunikasi simbolik,” jelas Buni.
Dalam sudut pandang komunikasi politik, hal ini dikenal sebagai strategi ‘image projection’ atau pencitraan kekuasaan. Tujuannya adalah mempertahankan loyalitas publik dan menjaga stabilitas dukungan politik, terutama menjelang tahun-tahun awal pemerintahan Prabowo-Gibran.
Pengaruh Terhadap Pemerintahan Prabowo
Pertanyaan yang mencuat berikutnya adalah: seberapa besar pengaruh Jokowi dalam pemerintahan yang secara formal dipimpin oleh Prabowo Subianto?
Beberapa analis menilai bahwa Jokowi masih memainkan peran penting dalam kabinet, baik melalui anaknya Gibran Rakabuming Raka yang kini menjabat sebagai Wapres, maupun melalui loyalis yang masih bertahan di berbagai kementerian dan lembaga strategis.
Fakta ini memperkuat dugaan bahwa Jokowi belum sepenuhnya mundur dari panggung kekuasaan, dan bisa jadi justru memperkuat cengkeramannya demi menjaga reputasi, terutama di tengah isu sensitif seperti dugaan ijazah palsu.
Isu Ijazah: Masih Jadi Titik Lemah Jokowi?
Dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi bukanlah isu baru, namun tetap menjadi sumber polemik yang belum menemukan titik terang. Meski berbagai klarifikasi telah disampaikan pihak Istana dan UGM, banyak kalangan menilai belum ada bukti autentik yang memuaskan publik secara menyeluruh.
Beberapa tokoh masyarakat dan akademisi bahkan telah mengajukan gugatan hukum, meski hasilnya belum menunjukkan perkembangan berarti di ranah yudisial. Namun, di tengah situasi politik yang sarat dengan konflik kepentingan, upaya mencari kebenaran menjadi tantangan tersendiri.
Buni Yani sendiri telah lama menjadi tokoh yang vokal dalam mengkritik pemerintahan Jokowi, terutama dalam konteks kebebasan berekspresi dan keadilan politik. Dalam pernyataannya kali ini, ia memperingatkan bahwa rakyat tidak boleh terkecoh oleh pencitraan yang sengaja dibangun demi menutupi persoalan fundamental.
Babak Baru Skandal Politik?
Apa yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan bahwa isu ijazah Jokowi belum mati. Sebaliknya, dengan berbagai peristiwa yang memunculkan simbol-simbol kekuasaan, publik justru makin curiga bahwa ada upaya masif untuk mengalihkan perhatian atau bahkan menekan kebenaran.
Jika benar Jokowi masih memainkan pengaruh besar di pemerintahan Prabowo, maka Indonesia mungkin sedang menyaksikan satu fenomena politik langka: mantan presiden yang tetap menjadi aktor sentral dalam kekuasaan tanpa jabatan formal.
Apakah ini hanya upaya menjaga citra? Ataukah ada ketakutan mendalam terkait masa depan hukum dan reputasi?
Rakyat dan sejarah yang akan menjawabnya.