M Qodari menilai putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah kebablasan dan melampaui batas kewenangan yudikatif. Ia mengusulkan format dua tahap tanpa harus dipisah nasional-daerah.
MonetaPost – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah menuai kritik tajam dari sejumlah kalangan, salah satunya dari Muhammad Qodari, Wakil Kepala Staf Kepresidenan. Ia menyebut langkah MK sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar pembagian kewenangan antara lembaga yudikatif dan legislatif.
Menurut Qodari, keputusan MK dalam uji materi yang mengubah sistem pemilu serentak menjadi sistem pemilu terpisah telah melampaui batas konstitusional. “Karena sudah kebiasaan nabrak-nabrak, kali ini MK kebablasan. Nabraknya bukan cuma undang-undang, tapi juga konstitusi,” ujar Qodari dalam sebuah podcast yang dikutip Jumat (11/7).
Putusan MK: Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
Putusan kontroversial MK tersebut lahir dari gugatan uji materi yang diputuskan akhir Juni 2025. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional (presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu daerah (gubernur, bupati, wali kota, dan DPRD) harus dilakukan secara terpisah. Alasan yang dikemukakan adalah untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah dan memperkuat kualitas demokrasi lokal.
Putusan ini otomatis membatalkan sistem pemilu serentak yang telah dijalankan dalam dua pemilu terakhir pada tahun 2019 dan 2024. Dalam skema lama, masyarakat memberikan suara untuk legislatif dan eksekutif sekaligus, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Namun Qodari menilai argumen MK tidak didukung dengan fakta yang kuat dan justru menimbulkan polemik baru. “Seolah-olah dengan pemisahan ini semua masalah akan selesai. Padahal enggak juga. Dulu kita juga pernah menjalankan pemilu legislatif dan presiden terpisah. Enggak ada masalah besar,” jelasnya.
MK Dinilai Langgar Fungsi Konstitusional
Qodari menekankan bahwa keputusan MK mencerminkan pergeseran peran lembaga yudikatif dari yang seharusnya bersifat pasif (negatif legislator) menjadi aktif (positif legislator). “MK itu seharusnya judicial restraint, bukan judicial activism. Tugas MK membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, bukan membuat norma baru,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa dalam banyak pasal UUD 1945, aspek teknis pelaksanaan pemilu ditegaskan harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang, bukan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, langkah MK dianggap mencampuri wilayah kerja pembuat undang-undang (DPR dan Presiden).
Menurutnya, tindakan seperti ini bisa menciptakan preseden berbahaya di mana lembaga yudikatif justru mengubah norma hukum secara substantif tanpa proses legislasi yang sah.
Usulan Format Pemilu Dua Tahap
Sebagai solusi alternatif, Qodari menawarkan pendekatan yang dinilai lebih masuk akal. Ia mengusulkan pemilu tetap dilakukan dalam skema nasional, namun dibagi dalam dua tahap: pertama untuk legislatif dan kedua untuk eksekutif. Skema ini pernah dijalankan Indonesia sebelum 2014, ketika pileg dan pilpres berlangsung terpisah.
“Kalau mau lebih efisien, ya pisahkan antara pemilu legislatif dan eksekutif. Bukan nasional dan daerah. Dengan begitu, rakyat bisa lebih fokus memilih partai, lalu memilih pemimpin,” kata Qodari.
Format ini dinilainya tidak hanya lebih logis secara teknis, tetapi juga tidak bertentangan dengan norma konstitusi dan tidak memaksakan perubahan struktur politik secara drastis dalam waktu singkat.
Risiko Teknis dan Kebingungan di Lapangan
Lebih jauh, Qodari juga menggarisbawahi bahwa putusan MK tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan administratif dan teknis. Banyak lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, hingga aparat keamanan belum tentu siap untuk menjalankan perubahan besar dalam waktu yang terbatas menjelang Pemilu 2029.
“Ini bukan sekadar soal hukum. Ini soal kesiapan sistem. Jangan sampai putusan yang terlihat progresif secara teori justru membuat kekacauan dalam praktik,” tambahnya.
Qodari menyebut bahwa sebelumnya MK mendapatkan apresiasi saat menyatakan aturan presidential threshold 20% bertentangan dengan semangat demokrasi. Namun kali ini, menurutnya, MK justru melangkah terlalu jauh.
“MK mendapat tepuk tangan ketika memutus soal threshold. Tapi kali ini, pendekatannya kebablasan. Ini bukan lagi judicial review, tapi semacam judicial legislating,” pungkasnya.
Ancaman terhadap Keseimbangan Kekuasaan?
Pernyataan Qodari membuka kembali diskursus penting soal batas peran lembaga yudikatif dalam sistem demokrasi. Ketika Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjaga konstitusi dari pelanggaran, justru mulai “menulis ulang” norma, maka batas-batas kewenangan antarlembaga negara perlu dikaji ulang.
Sebagian pengamat menilai bahwa putusan MK yang memisahkan pemilu bisa memperkuat otonomi daerah, namun tidak sedikit pula yang khawatir ini akan menciptakan ketidaksinkronan antara pusat dan daerah.
Yang jelas, perdebatan ini belum akan berakhir. Pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil kini menghadapi tugas berat: merespons putusan tersebut secara konstitusional, tanpa menambah kerumitan politik menjelang tahun-tahun krusial menuju Pemilu 2029.
One Comment