Wacana revisi UU MK kembali mencuat di DPR usai Mahkamah Konstitusi memutus pemisahan pemilu nasional dan daerah. Benarkah ini bentuk penolakan politik terhadap kewenangan MK?
MonetaPost – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah menjadi dua tahap menuai respons keras dari sejumlah partai politik. Tak lama setelah keputusan ini diumumkan, wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi kembali mencuat di Gedung Parlemen. Hal ini memicu spekulasi publik bahwa langkah tersebut bisa menjadi reaksi politik terhadap putusan yang dianggap tidak menguntungkan partai.
Namun, pimpinan DPR membantah bahwa revisi UU MK berkaitan dengan pemisahan pemilu. Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar, menyatakan bahwa tidak ada rencana baru untuk merevisi UU MK. Ia menjelaskan bahwa revisi tersebut sebenarnya sudah rampung sejak lima tahun lalu dan hanya tinggal menunggu pengesahan di rapat paripurna.
“Undang-Undang MK tidak ada revisi. Itu sudah direvisi periode anggota DPR yang 5 tahun lalu. Tinggal paripurna saja,” kata Adies di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/7).
Meski demikian, pernyataan ini tidak menyurutkan opini publik yang melihat korelasi antara kemarahan partai terhadap putusan MK dan munculnya kembali wacana revisi.
Putusan MK Picu Ketegangan Politik
Putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional (presiden dan legislatif) dengan pemilu daerah (kepala daerah dan DPRD) dinilai sejumlah partai sebagai keputusan yang berpotensi memecah fokus pemilih dan memperberat beban logistik pemilu. Beberapa elite partai menyatakan kekecewaannya, bahkan menyebut MK telah bertindak di luar kewenangan konstitusionalnya.
Cucun Ahmad Syamsurijal, Wakil Ketua Umum PKB, menjadi salah satu tokoh yang menyuarakan kritik keras. Ia menyebut putusan MK melampaui batas yang ditentukan oleh konstitusi.
“Bahwa putusannya sudah melebihi Undang-Undang, konstitusi. Konstitusi Pemilu itu di kita lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi justru melanggar konstitusi,” kata Cucun.
Pernyataan ini menyiratkan adanya ketidakpercayaan terhadap independensi MK, terutama ketika keputusan yang diambil memiliki implikasi langsung terhadap agenda politik partai di pemilu berikutnya.
Revisi UU MK: Kebetulan atau Tanggapan Politik?
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menegaskan bahwa revisi UU MK tidak ditujukan untuk mengamputasi kewenangan MK. Menurutnya, revisi ini hanyalah bagian dari upaya menyempurnakan regulasi, dan tidak ada niatan untuk memperlemah lembaga yudikatif tersebut.
“Kewenangan MK itu sudah jelas diatur dalam UUD 1945. Jadi tidak ada niat mengerdilkan atau menjadikan MK di bawah DPR,” ujar Nasir.
Ia menambahkan, munculnya wacana revisi yang berdekatan dengan putusan pemilu hanyalah sebuah kebetulan. “Itu hal yang wajar dalam demokrasi, bahwa DPR dan parpol merespons,” katanya.
Namun, respons ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang sedang berlangsung. Dalam sistem demokrasi parlementer, respons legislatif terhadap keputusan yudikatif kerap menimbulkan tarik-ulur kepentingan, terutama jika keputusan tersebut mengubah lanskap politik secara signifikan.
Independensi MK di Persimpangan Jalan?
Mahkamah Konstitusi adalah pilar penting dalam sistem hukum dan demokrasi Indonesia. Kewenangannya mencakup pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, serta memutus sengketa pemilu. Dalam konteks pemisahan pemilu nasional dan daerah, MK menjalankan perannya sesuai konstitusi, yaitu menjawab permohonan uji materi dari masyarakat sipil atau pihak yang berkepentingan.
Namun jika wacana revisi UU MK terus digulirkan pasca keputusan yang tidak disukai partai, publik berhak khawatir bahwa independensi MK sedang diganggu. Lembaga yang seharusnya berdiri netral bisa tertekan secara politis, apalagi jika revisi UU MK digunakan sebagai alat untuk membatasi atau bahkan mengendalikan keputusan-keputusan MK ke depan.
Bukan Kali Pertama UU MK Direvisi
UU MK sendiri sebelumnya telah mengalami beberapa kali revisi, termasuk pada tahun 2020 yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi, syarat usia minimal, dan penguatan kode etik. Revisi tersebut sempat menuai kontroversi karena dianggap dapat membuka celah intervensi politik terhadap lembaga yudikatif.
Kini, dengan munculnya lagi wacana revisi di tengah perdebatan panas putusan pemilu, muncul pertanyaan: apakah ini hanya revisi teknis administratif atau upaya membalas keputusan MK yang dinilai tidak menguntungkan partai tertentu?
Apa yang Bisa Terjadi Selanjutnya?
Jika DPR benar-benar mengesahkan revisi UU MK dalam waktu dekat, penting untuk dicermati apakah substansi revisinya hanya menyangkut teknis administratif atau mencakup hal-hal yang dapat mengurangi kewenangan dan independensi MK. Jika yang terjadi adalah yang kedua, ini bisa menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.
Sebaliknya, jika DPR konsisten dengan prinsip checks and balances, maka revisi seharusnya dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan menghindari nuansa politisasi.
Wacana revisi UU MK yang muncul pasca putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan kekhawatiran akan adanya upaya politik untuk mengintervensi lembaga yudikatif. Meski DPR membantah adanya kaitan langsung, fakta bahwa partai-partai besar menunjukkan penolakan terbuka terhadap putusan MK memunculkan kecurigaan wajar di masyarakat.
Ke depan, penting bagi publik untuk terus mengawasi proses legislasi UU MK agar tidak digunakan sebagai alat politik balas dendam, melainkan sebagai instrumen untuk memperkuat demokrasi dan menjaga independensi Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir keadilan konstitusional di Indonesia.
One Comment